KARYA : FIRA KHAIRUNNISA
Setangkup Cinta Pesantren Impian
Suasana ini begitu nyaman, asri,
sejuk, indah dan damai bagiku. Suasana yang tak pernah kujumpai dimana pun itu.
“Pesantren”. Ya, itu suasana pesantren. Suasana yang sudah lama aku inginkan.
Sungguh aku tak percaya aku bisa berada disini sebagai santriwati. Bukan karena
paksaan dari orang tua seperti kebanyakan yang terjadi. Melainkan murni karena
keinginanku sendiri. Walau sempat ditentang orang tua karena beberapa alasan,
hatiku tetap kekeh untuk nyantri yang insyaAllah semata-mata mengharap ridho
Ilahi. Alhamdulillah.. trimakasih atas nikmat yang indah ini Ya Allah..
“Khairunnisa?” Tanya seorang gadis
cantik, berjilbab rapi yang sepertinya santriwati disini.
“Iya ukhti” Jawabku dengan menganggukkan kepala.
“Ana Hilwatun Hafidzah, ana disuruh
Usth.Zakiah untuk mengantarmu bertemu beliau”
“Usth.Zakiah?” Tanyaku.
“Iya, beliau istri dari direktur dipesantren
ini”
“MasyaAllah.. ‘afwan ukhti ana lam
a’rif syai’an (maaf kak aku belum mengetahuinya) . Akupun mengikuti ukhti Hilwatun
Hafidzah “Assalamu’alaikum ustadzah ”
“Wa’alaikumsalam. Ijlis ukhti
(silahkan duduk )” Jawab wanita yang aku rasa iniusth.zakiah.
“ustadzah, ini Khairunnisa” Ucap
ukhti Hilwatun Hafidzah sambil menunjuk ke arahku. Akupun tersenyum dan segera
mencium tanggan beliau yang memang benar ustadzah zakiah, istri dari direktur di
pesantren ini.
“Oh Khairunnisa, MasyaAllah cantik
sekali kamu ukhti”
“Syukron ustazah” Jawabku dengan
tersenyum malu.
“Hilwa , ukhti nisa ini biar
dikamarmu saja ya, dia baru pertama kali nyantri, jadi ustadzah minta tolong
bantu Nisa untuk mengenal pesantren ini. Dan Nisa, ini ukhti hilwaukhti hilwa ini sudah cukup lama nyantri disini, jika ada
sesuatu tanyakan saja.” Tutur usth.zakiah kepadaku dan Ukhti hilwa .
“Na’am ustadzah, InsyaAllah” Jawab
ukti hilwa , sambil tersenyum kepadaku.
“Nisa, ini kamar mu. Dikamar ini berisi 20 santriwati yang berbeda-beda
asalnya dan juga berbeda tingkatan dengan nisa, ini sistem ini dibuat karena
agar santrinya lebih percaya diri dan hidup secara sosial. Pesantren ini cukup besar. Dipesantren ini beratus-ratus kamar
untuk santriwatinya saja dan setiap kamar hanya diisi dengan 20-30 santri
saja.”
“Lalu kenapa hanya Ukhti yang sedikit
penghuninya ?” Tanyaku.
“Sebenarnya kamar ukhti ini khusus untuk santriwati senior. Ukti kan sudah
kelas 6 disini, sebentar lagi ukhti akan alumni, dan khusus kelas 6 tidak lagi
bergabung dengan adik-adik kelasnya .”
“Lalu
setelah mereka alumni, mereka akan kemana ukhti ? apakah mereka akan langsung
menikah ? “ tanyaku lagi .
“Mereka
sudah menyiapkan tugas yang akan mereka emban selanjutnya nisa,ada yang dapat
jalur beasiswa di mesir,australia,bandung,jakarta, yang jelas mereka akan
berpencar guna untuk membimbing dan menuntut ilmu fi sabilillah, ada juga sih
yang sebagian langsung menikah dengan seorang ustad dipesantren ini,dikarenakan
untuk menjadi seorang wanita yang solihah yang tak perlu menuntut ilmu .”
“ Oh kalau ukhti, kapan nikahnya?”
Candaku , sambil meletakkan pakaian ke lemari.
“Ukhti kan masih sekolah Nisa. Ukhti
juga masih ingin melanjutkan kuliah kelak. Ya, do’akan saja lah.” Jawab Ukhti hilwa
dengan senyum manisnya.
Ukhti hilwa memang gadis yang baik. Dia mudah sekali untuk akrab denganku. Aku
bersyukur, hari pertamaku dipesantren, aku sudah mendapatkan sahabat sekaligus sosok
kakak bagiku yang sungguh baik.
Hari-hariku dipesantren terasa indah. Saat ini aku duduk di kelas 3 exp Atau yang biasa dikenal dengan istilah 1 SMA.
Karena dipesantren aku masuk secara intensiv , maka aku harus ambil naik
tingkatan untuk mengimbangi usiaku . dan alhamdulillah aku lulus .
Alhamdulillah ukhti hilwa selalu membantu ketika aku kesulitan dalam
mempelajari sesuatu, termasuk kitab munjid,bhulugul marram dll. Ukhti hilwa
saat ini duduk di kelas 6 (3 SMA). Dia cukup pintar di pesantren ini. Banyak
prestasi-prestasi yang ia peroleh. Selain itu ukhti hilwa juga baik sekali
denganku. Ia yang selalu memberi semangat untukku ketika aku merasa lelah
dengan kegiatan-kegiatan pesantren, ia juga yang selalu menghiburku ketika aku
rindu dengan keluargaku. Sungguh ku beruntung telah mengenalnya.
**
Hari ini hari jumat. Seperti biasa hari dimana pesantren saatnya istirahat
sejenak. Kegiatan pesantrenpun baru dimulai sore hari. Waktu lenggang ini
digunakan para santri untuk beberapa hal. Diantaranya, ada yang memanfaatkan
waktu lenggang ini dengan belajar, ada yang mengaji, ada yang mencuci dan
bahkan ada yang memanfaatkan waktunya untuk tidur.
“Pakaian sudah ku cuci, belajar
sudah, mengaji pun sudah. Lalu aku harus apa ya?” Gumamku sambil mencari
kesibukan.
Aku memang orang yang tidak bisa untuk tidak melakukan sesuatu. Karenanya aku
selalu ingin mencari sesuatu untuk menyibukanku. Terlihat ukhti Ila berjalan di
depan pintu. Aku berteriak memanggilnya.
“Ukhti…. ”
Ukhti hilwa yang mendengar panggilanku langsung berbalik arah ke tempatku
memanggil.
“Madza (apa)Nisa?”
“Ukhti ila aina (mau kemana)?”
“Mau bantu ustadzah zakiah menyiapkan
tasyakuran untuk putra bungsungnya yang baru datang dari Al-Azhar Cairo”
“Nisa boleh ikut gak ukhti?” Tanyaku
dengan penuh harap.
“Nisa, anti(kamu) kan santriwati
baru, gak enak kalau sudah menyuruhmu ”
“Kholaslah(sudahlah) ukhti. Lets go.”
Langsung kutarik tangan ukhti ila untuk bergegas menuju rumah Umi Sarah yang
letaknya tidak jauh dari kamar kami.
“Assalamu’alaikum ustadzah ”
“Wa’alaikumsalam. Lho ada Nisa,? li ayyi syai’n nisa ila huna
(ada apa nisa ke sini ) ?” Tanya umi Sarah kepadaku.
“ ‘afwan ustadzah , Nisa yang
memaksa” Jawab ukhti zakiah dengan perasaan bersalahnya.
“Nisa ingin ikut membantu ustadzah disini,
Nisa juga sedang tidak ada kesibukan ustadzah , Nisa itu anaknya gak bisa diam ustadzah”
“Tapi Nisa……..”
“Nisa tidak apa ustadzah, jaiz(boleh)ya..”
Rayuku kepada ustadzah zakiah .
“Baiklah. Ayo masuk ” ustadzah pun
mengizinkannya.
Aku dan ukhti hilwa masuk ke dalam rumah ustadzah zakiah. Dikediaman ustadzah
zakiah sudah banyak santri yang membantu. Aku mendapat tugas membuat minuman
untuk semua yang membantu ustadzah zakiah disini.
“ Nisa, tolong buatkan minuman untuk
semua yang disini ya nduk. Dapur umi disana ” Ucap ustadzah zakiah sambil menunjuk
arah dapurnya.
“Baik umi” Jawabku dengan semangat.
Sesampainya di dapur, aku langsung memasak air dan menyiapkan beberapa gelas.
“Dimana ya?” Lirihku sambil membuka
pintu-pintu lemari yang ada.
“Cari apa ukhti?” Suara itu terdengar
dari arah belakangku.
Akupun bergegas berbalik untuk melihat siapa yang menanyaiku.
“Subhanallah… tampan sekali, siapa
pemuda ini?” Gumamku dalam hati.
“Cari apa ukhti?” Tanya pemuda itu
kembali.
“Astagfirullah… maaf, saya mencari
gula dan teh” Jawabku dengan gugup
“Oh.. itu dilemari sana” Sambil
menunjuk lemari yang dimaksud.
“Baik,syukron”
“Afwan” Pemuda itu berbalik keluar
meninggalkan dapur.
“Subhanallah… sungguh indah ciptaanMU
yaRobb ”
#BRAKK……
suara jendela yang tertutup keras karna dorongan angin, mengangetkanku.
“Astagfirullah… Ampuni hamba
YaAllah…” Segera kuselesaikan tugasku.
“Ustadzah ini minumannya ”
“Syukron ya ukhti. Ayo anak-anak
diminum dulu” Kata ustadzah sambil menyuruh santri yang membantu untuk
beristirahat sejenak dengan meminum teh yang kubuatkan.
Selesai membantu ustadzah zakiah, kami para santri kembali ke kamar
masing-masing untuk melakukan rutinitas seperti biasa.
Rutinitas pesantren telah dimulai. Namun ada yang berbeda pada rutinitas malam
ini. Ba’da isya’ yang biasa diisi dengan pengajian kitab kuning kini menjadi
pengajian akbar dan acara tasyakuran untuk putra bungsu ustad abdul hamid . Diawal
sebelum acara dimulai, ust.abdul hamid memperkenalkan putranya dihadapan para santri.
Aku yang pada saat itu berada di shaf putri paling depan melihat sosok yang
diperkenalkan ust.abdul hamid dan teringat sesuatu.
“Pemuda itu kan yang tadi di dapur? ”
Lirihku.
“Ukhti, pemuda itu putra ust.abdul
hamid yang dari Cairo ya? ” Tanyaku kepada ukhti hlwa yang berada di sampingku.
“Iya Nisa. limadza (kenapa)? jamiil
kaza(ganteng kan)?”
“na’am Ukhti.jamiil jiddan (tampan
sekali). Wajah teduhnya seperti memancarkan keimanan. Sungguh beruntung ust.abdul
dan usth.zakiah ya ukhti.” Sahutku sambil memandangi pemuda yang saat ini masih
di depan mimbar dengan ust.abdul .
“Yang lebih beruntung nanti adalah istrinya
Nisa. Benar katamu, dia pemuda yang berakhlak baik, dan kamu tau Nisa, dia juga
Hafidz Qur’an loh.”
“Subhanallah... Ukhti serius?”
Tanyaku penasaran.
“Na’am Nisa. Ismuhu (namanya) Fahri.
Dia lulusan terbaik Al-Azhar. Banyak sudah yang menawarkan pekerjaan untuknya.
Dan gaji yang ditawarkan tak tanggung-tanggung hingga puluhan juta per bulan.
Tapi Fahri seorang yang berbeda. Dia lebih memilih meneruskan perjuangan
abahnya untuk pesantren ini” Jelas ukhti hilwa panjang.
“Ukhti, Nisa rasa Nisa mencintainya ”
Mendengar pernyataanku, ukhti hilwa terlihat terkejut. Ia menatapku tajam.
“Kenapa ukhti?” Tanyaku sambil
menatap wajah ukhti hilwa yang terlihat tegang.
“Astagfirullah.. maaf Nisa, ndak apa
kok.” Jawab ukhti hilwa dan langsung memalingkan wajahnya.
Entah apa yang terjadi pada saat itu. Aku juga tak tau pasti kenapa ukhti hilwa
terlihat seperti itu. Ketika ku tanyapun ukhti hilwa hanya menggeleng-gelengkan
kepala. Pada saat itu aku hanya dapat berprasangka baik terhadap Allah,
terhadap perasaanku dan terhadap ukhti Ila.
Semenjak itu, aku sering sekali bertanya kepada ukhti hilwa mengenai akhi Fahri. Karena memang Ukhti hilwa mengenal akhi
Fahri sejak berusia 8 tahun. Ya, ukhti hilwa memang sudah lama nyantri disini.
Itu sebabnya Ukhti hilwa akrab sekali dengan keluarga ust.abdul Ukhti hilwa tau
betul sifat-sifat yang dimiliki akhi Fahri. Dan akupun mengetahui banyak hal
mengenai akhi Fahri dari ukhti hilwa. Hampir setiap hari kami membicarakan akhi
Fahri. Semua yang diceritakan ukhti hilwa menambah kekagumanku terhadap akhi Fahri. akhi
Fahri kini menjadi guru bahasa arab di kelasku. Sungguh ketika itu aku bahagia
sekali. Aku bisa sering bertemu dengan akhi Fahri. Tapi aku selalu ingat pesan
ukhti hilwa kepadaku, agar jangan sampai nafsu menguasai diriku, dan menjadikan
cinta ini menjadi cinta yang berasal dari nafsu bukan dari Allah.
Subhanaallah... ukhti hilwa memang gadis yang baik, pandai, bijaksana lagi.
Ternyata akhi Fahri adalah seorang yang mudah akrab dengan siapa saja, termasuk
aku. Semakin lama aku semakin akrab dengan akhi Fahri. Setiap keakrabanku
dengan akhi Fahri selalu kuceritakan kepada Ukhti hilwa. Dan ukhti hilwa selalu
menjadi pendengar setiaku hampir setiap malam. Tak lupa juga ukhti hilwa
menasehati dalam setiap langkahku. Itu yang membuatku betah bercerita lama
dengan ukhti hilwa. Karena ia selalu sabar mendengarkanku. Tak henti-hentinya
hati ini mengucap syukur kepada Allah atas nikmat yang indah ini.
**
Tak
terasa ujian kenaikan sudah dekat. Semua santri disibukkan dengan belajar,
belajar dan belajar. Tak terkecuali aku dan ukhti hilwa. Disela-sela kami
belajar, aku menanyakan sesuatu kepada ukhti hilwa.
“Ukhti, setelah lulus mau kemana? ”
“Entahlah
nis, mungkin ukhti akan meneruskan sekolah di Yogyakarta, biar gak jauh-jauh dari
rumah uhkti” Jawab Ukhti hilwa.
Aku
menghentikan membacaku, setelah mendengar jawaban dari ukhti hilwa.
“Berarti
Ukhti akan meninggalkan pesantren ini? Ukhti akan meninggalkan Nisa? Ukhti akan
meninggalkan semuanya?” Tak terasa butiran-butiran air mata ini mengalir di
pipiku.
Ukhti hilwa beranjak dari meja belajarnya menuju tempatku
menangis, kemudian langsung memelukku erat. Ukhti hilwa juga terlihat menangis
saat memelukku. Isak tangispun menyerua diruangan ini.
“Kalau
ukhti meninggalkan pesantren ini, Nisa dengan siapa ukhti? Ukhti yang selalu
ada buat Nisa, Ukhti yang selalu semangatin Nisa, Uhkti yang mengerti Nisa,
Nisa dengan siapa Ukhti? Dengan
siapa?”
“Istigfar
Nisa, Allah yang selalu ada bersama Nisa. Disini juga ada usth.zakiah, akhi
Fahri dan santri-santri lain yang juga sayang sama Nisa sama seperti Ukhti”
Jawab ukhti hilwa sambil mengusap air mataku.
“Astagfirullah,
maafkan Nisa ukhti. Nisa hanya tidak ingin kehilangan sosok kakak yang seperti
Ukhti”
“
Nisa tidak akan pernah kehilangan Ukhti, jika ukhti selalu Nisa sebut dalam
setiap do’a Nisa. Begitupun sebaliknya, Nisa tidak akan pernah hilang dari hati
ukhti, karna insyaAllah dalam setiap do’a ukhti selalu ada nama Nisa. Kita
serahkan semua pada Allah. Karena DIA lah yang sebenarnya maha memiliki.
Meliliki Nisa dan memiliki ukhti. Jadi, sudah ya nangisnya…” Ucap Ukhti hilwa menenangkanku.
Akupun
mulai sedikit tenang. Ukhti hilwa menyuruhku segera beristirahat, karna hari
memang sudah larut malam, agar ujian besok berjalan lancar. Malam ini merupakan
malam yang sungguh penuh makna bagiku. Dimana indahnya keluarga sangat aku
rasakan saat itu.
Illahi…
Sungguh besar NikmatMu
Rasanya tak pantas ku
menerimanya
Jika ku ingat dosa-dosaku
kepadaMU
Namun ku tahu KAU Maha
Pengasih
Ku tahu KAU Maha Pemurah
Maka,
Tetapkan Iman di Jiwaku
Tetapkan Taqwa di ragaku
Jangan biarkan kekufuran
menguasaiku
Dan biarkan aku menjadi
hamba yang selalu bersyukur kepadaMU
Bersyukur atas semua yang
KAU beri untukku
Ujianpun telah selesai. Kami
para santriwati sedikit lega dengan berakhirnya ujian kenaikan kelas ini. Usaha
telah kami maksimalkan, dan hanya tawwakal yang dapat kami lakukan saat ini.
Memasrahkan semua hasil usaha kepada Allah Swt. Karena hanya DIA lah yang maha
segalanya.
Detik-detik
kenaikan kelas mulai terasa. Sebentar lagi hasil ujian kami akan diberikan
dalam bentuk raport. Setelah raport diberikan, aku bergegas menuju kamar untuk
menemui ukhti Ila.
“Assalamu’alaikum
ukhti alhamdulillah… Nisa naik kelas, hasilnya pun lumayan bagus lho Trimaksih
ya ukhti, ukhti telah banyak membantu Nisa ”.
“Wa’alaikumsalam.
Alhamdulillah kalau begitu. Barakallah untuk nilai dan kenaikanmu Nisa” Jawab
ukhti hilwa.
Sedangkan ukhti hilwa tidak perlu diragukan
lagi. Ukhti hilwa lulus dengan nilai terbaik.
“Selamat ya ukhti” Ucapku dan langsung memeluk ukhti hilwa.
Namun, lagi-lagi air mata ini menetes. Aku
merasakan ketakutan yang amat. Entah karena apa. Apakah aku takut kehilangan
ukhti hilwa? Ya, aku memang takut kehilangan orang yang saat ini kupeluk. Ukhti
hilwa yang menyadari aku menangis langsung melepaskan pelukanku.
“Nisa kenapa nangis? ” Tanya ukhti hilwa sambil mengusap air mata dipipiku.
“Ukhti tidak serius meninggalkan pesantren
ini kan? Ukhti tidak akan meninggalkan Nisa kan?”
Tanpa berkata sedikpun, ukhti ihilwa
memelukku kembali.
Setelah keadaanku sedikit tenang, ukhti hilwa
melepas pelukannya.
“Serahkan
semua pada Allah Nisa” Ucap ukhti hilwa dan langsung berjalan keluar
meninggalkanku.
Aku tau ukhti hilwa juga sedih. Mungkin ukhti
hilwa tidak ingin menunjukkannya kepadaku, ukhti hilwa tidak ingin menambah
kesedihannku. Aku faham itu, karna setahun dipesantren ini cukup buatku
mengenal Ukhti hilwa.
**
Sungguh ku tak ingin melewati malam ini. Malam yang tak pernah kuharapkan sama
sekali. Jika aku bisa berharap, aku akan berharap agar tidak adanya malam ini.
Karena mungkin malam ini adalah malam terakhirku dengan ukhti hilwa. Dan aku
tak mau itu. Sungguh aku tak mau yaAllah.
“Kenapa sepi ya? Nisa ndak ingin
cerita ni sama Ukhti?” Tanya ukhti ila memecah keheninggan kamar, sambil
memindahkan barang-barangnya ke tas yang akan ia bawa pulang esok.
“tidadak mau! Nisa ingin istirahat
saja.” Jawabku dengan nada sedikit marah.
“Ya sudah, selamat tidur adikku. Jangan lupa berdo’a dulu” Kalimat yang hampir
setiap malam ukhti hilwa tuturkan
kepadaku.
Malam ini sulit untukku memejamkan mata. Saat kulihat jam dinding, waktu
menunjukkan pukul 02.30.
#KREKK…. Suara pintu terbuka.
Segera ku tutup mataku kembali, dan berpura-pura tidur. Aku tau itu Ukhti hilwa,
karena Ukhti hilwa memang rajin sekali untuk sholat malam.
Ya…Allah.Ya..Robb….
Malam ini aku bersimpuh kepadaMU
Tiada daya dan upaya selain atas izinMU
Izinkan aku berlutut menghadapMu
Izinkan aku bermunajah kepadaMu
Serta izinkan aku menangis karnaMU
Wahai dzat yang mampu membolak-balikan hati
Sungguh hati ini sakit ketika melihat sahabat kita sendiri mencintai orang yang
juga kita
cintai
Karenanya,
Balikkan rasa sakit dihati ini
Jadikan rasa ini menjadi rasa ikhlas karnaMU
Sungguh ku percaya takdir cintaku berada ditanganMU
Ilahi
Aku menyayangi Nisa melebihi sayangku kepada Fahri
Namun takkan mengurangi rasa sayang dan cintaku terhadapMu
Sungguh ku tak sanggup menyakitinya
Ku tak ingin melihat sedihnya
Ku tak ingin ada tangisan darinya
Jangan biarkan senyumnya berganti dengan kesedihan
Dan jangan biarkan tawanya berganti menjadi tangisan
Karna ku tak sanggup untuk melihatnya
Tak terasa air mata ini mengalir deras dipipiku. Tak sanggup lagi rasanya aku
mendengar do’a ukhti hilwa. Segera ku beranjak dari tempat tidur mendekati ukhti
hilwa yang saat itu masih menenakan mukenah putihnya.
“Kenapa ukhti gak pernah cerita? ”
Tanyaku “Cerita apa Nisa?”
“Ukhti, Nisa mendengar semua do’a
ukhti. Hati Nisa teriris sakit. Nisa merasa menjadi orang yang paling bodoh.
Nisa sudah lama mengenal ukhti, tapi kenapa Nisa baru mengetahuinya sekarang?
Maafkan Nisa ukhti, Maafkan nisa ukhti…..
“Nisa, dengarkan Ukhti. Melihat tawa Nisa
sudah merupakan bahagia untuk ukhti. Selama ini ukhti sendirian. Sejak
kehadiran Nisa, ukhti merasa ada yang berbeda dikehidupan ukhti. Ukhti merasa
mempunyai teman, ukhti merasa mempunyai seorang adik dan ukhti merasa bahagia
sekali. Ukhti rela melakukan apa saja asal Nisa bahagia. Karena bahagia Nisa
adalah bahagia ukhti ”
Tanpa berkata apapun, langsung ku peluk ukhti ihilwa dengan tangisku.
YaRobb…
Mungkin banyak yang KAU sayang di dunia ini
Karena memang KAU maha penyayang
Namun saat ini,
Akulah yang merasa paling KAU sayang
KAU tunjukkan rasa sayangMU dengan menghadirkan Ukhti hilwa di kehidupanku
Berkahi hidupnya YaAllah
Berikan kemudahan disetiap langkahnya
Serta jadikan ia hamba pilihanMU
**
Pagi yang cerah. Namun tak
secerah perasaanku. Sungguh hatiku ingin menjerit dan mengatakan
“Jangan pergi ukhti.. jangan pergi”
Namun kemantapan Ukhti hilwa membuatku tak
berdaya serta membuatku tak mampu untuk mengatakannya. Kesedihan ini tak hanya
aku yang merasakan. Semua santri juga merasakannya. Ukhti hilwa memang sosok
yang dikagumi hampir semua santri karena kebaikan dan kebijaksaannya.
Usth.zakiah dan ust.abdul juga
menyayangkan kepergian santri kesayanganya itu. Namun ini semua adalah pilihan
Ukhti hilwa. Hanya Allah yang dapat menghentikannya.
“Anti ila aina hilwa (kamu mau kemana hilwa)?” Tanya seorang
pemuda.
“ Fahri?” Jawab Ukhti hilwa terkejut.
“Kenapa kamu tidak memberitahuku sama
sekali? Apa kamu sudah lupa dengan teman kecilmu ini?”
Ukhti hilwa hanya terdiam dan menunduk mendengar fahri berbicara.
“Hilwatun Hafidzah, dihadapan umi dan
abi,dihadapan santri-santri disini, serta di hadapan Allah tentunya, aku ingin
mengatakan aku sungguh mencintaimu. Dan aku ingin engkau menjadi yang halal
bagiku karna Allah. Aku ingin meminangmu karena kerendahan hatimu, karena
keindahan akhlakmu, karena kehalusan tutur katamu, karena kebaikan sikapmu, dan
karena kedekatanmu denganNYA, dengan sang Maha Pencipta”
Pernyataan Fahri mengejutkan semua yang
ada disana termasuk aku. Kecuali usth.zakiah dan ust.abdul yang terlihat santai
dengan pernyataan yang diucapkan putranya.
Seketika itu ukhti hilwa menoleh ke arahku. Mungkin ukhti hilwa
mengakhawatirkan perasaanku. Tapi aku tersenyum pada ukhti hilwa, pertanda aku
mendukung sekali dan akan menjadi orang yang paling bahagia jika Ukhti hilwa
menerima pinanangan akhi Fahri. Ukhti hilwa yang mengerti akan makna
senyumannku langsung mengatakan sesuatu.”Baiklah
, aku juga mencintaimu karena allah . menjadi seorang isteri yang soliha adalah
idamanku sejak dahulu
Jika kita memang
ditakdirkan oleh allah untuk bersama,insyaallah dengan izin aku bersedia
menjadi yang halal bagimu fahri”
Sungguh indah kebesaranMU YaRobb
Dan indahnya itu hanya KAU yang tau
Ku yakin akan semua takdirMU
Termasuk jodohku
Jika mas Fahri bukanlah cinta yang KAU pilih untukku
Ku yakin KAU telah siapkan yang lebih indah dari itu
Dan ku percaya
Semua kan hadir atas izinMU
Kelak jika KAU berkehendak
~THE END~
Oleh : Fira khairunnisa
Kelas : X-2